Pantai Yang Terkikis Takkan Hilang Ditelan Ombak

Pantai Yang Terkikis Takkan Hilang Ditelan Ombak



Katakanlah kau seorang wanita. Seorang remaja paruh baya dan mungkin baru saja melihatku. Ada beberapa hal yang langsung kau ketahui. Kau akan melihat tinggi badanku sekitar 171 cm. Kau akan melihat rambutku yang hitam dan stylish. Kau pula akan memperhatikan sosokku yang bersih dan menarik. Dan kau akan menduga usiaku antara dua puluh satu dan dua puluh lima.
Katakan saja kau cukup menyukai apa yang kau lihat dan mau bicara denganku. Kita akan bertukar nomor handphone dan kalau segalanya berjalan mulus, kau akan tahu lebih banyak lagi.
Raymond R. Ramadhan biasa ku menyebutkan diri. Jika kau bertanya tentang huruf R di antara Raymond dan Ramadhan, aku akan menerangkan dengan mantap bahwa artinya adalah Rahmat. Lalu kau
mungkin akan menduga dengan benar bahwa aku single.
Katakan saja kau telah berhubungan denganku. Kalau beruntung, kita mungkin akan menikmatinya. Jika benar demikian, bahkan bisa jadi hubungan ini akan bertahan lama sampai batas waktu yang tidak di tentukan. Tapi itu oke oke saja, karena memang itulah yang dinginkan.

Hari sabtu siang, dan aku punya masalah. Lebih gawat dan tepatnya aku melupakannya.
Tia – memanggil. Tulisan yg terpampang di layar handphone dan menunggu untuk diangkat.
 “ Halo, malam ini jadi jalan enggak ?” tukas seseorang di seberang telepon.
“ Jadi – jadi “ jawabku dengan nada gelagapan.
“ Lagi apa sih, koq lama banget diangkatnya ?”
“ Tadi HP-nya di-silent, sayang! “
“ Owh. Nanti jam setengah sembilan malam ya!  ketemu di tempat biasa “
“ Oke Tia sayang, udah dulu ya! lagi ada tamu neh, enggak enak! “ kataku sambil melirik jam di pergelangan tanganku.
“ Yaudah, sampai ketemu nanti malam Honey “
“ ya “ jawabku mengakhiri pembicaraan.
Tak lama kemudian. Handphoneku kembali berdering.
Poppy – memanggil. Akupun segera menekan tombol berwarna hijau.
“ Halo, kemana aja sih, koq tadi panggilannya dialihkan? “ tanya seseorang diseberang sana.
“ Tadi lagi nerima telpon, mi! “ jawabku dengan tenang.
“ Dari cewek ya? “ tanyanya kembali
“ E… enggak koq, temen ngajakkin main billiard. “
“ Hmm, ya sudah. Tapi nanti jemput aku ya, pi? “
“ Jam berapa? “
“ Sekitar jam setengah enam. Nanti aku kabari papi lagi. “
“ 86. Siap, laksanakan! “ tegasku sembari tertawa.
“ Ditunggu, 88. “ jawabnya meladeni perkataanku.
“ Ikut-ikutan aja neh! Hehe, sudah dulu ya, mi. Jangan lupa makan ya! “
“ Habis, papi duluan sih! Iya papiku sayang, love you. “
“ Love you too. “ jawabku mengakhiri pembicaraan.

Buru – buru aku masuk kembali ke rumah untuk menemui seseorang yang telah menungguku.
“ Telpon dari siapa sih beb ? koq lama banget! “ tanya Viona dengan penuh keheranan.
“ Biasa, temen ngajak maen billiard lagi “ jawabku dengan sorot mata menyakinkan.
“ Terus ?“ Tanya Viona kembali sambil mengernyitkan matanya.
“ ya, aku tolak donk! Kan aku udah janji mau pergi sama kamu ” kataku lalu mengajaknya keluar.
“ Masih ada sekitar enam setengah jam lagi sebelum ketemu  Tia, masih sempet lah ngajak Viona nonton! Lalu menjemput Poppy sambil jalan-jalan ke taman “ Pikirku dengan sejuta skema yang tersusun rapi.

Sejauh ini lumayan, kadar keSETIAanku cukup terjaga dengan sempurna. Tak ada yang curiga di antara wanita pemujaku. Ini bukan situasi yang sangat buruk. Aku makhluk heteroseksual dan penyuka kebebasan. Lagipula kelihatannya mereka oke oke saja dengan pola hidupku yang seperti ini.
Ada suara dalam kepalaku yang mengatakan, Memangnya kenapa? Bukankah manusia itu adalah makhluk serakah dan tidak pernah puas?. Jadi sah sah saja jika akupun bertindak demikian. Hidup ini cuma sekali, kenapa pula kau harus menyia-nyiakannya dan menyerahkan kepada yang tak pasti. So, it was fun. Hidup akan menjadi lebih sederhana kalau kau menikmatinya? Well, ya kan?
Tapi suara-suara lain memprotes tak setuju. Ada suara egois : Mereka juga manusia yang sama rapuhnya. Jika kau terus saja begitu, maka kau akan melihat lingkaran sosialmu runtuh tanpa menyisakan aktivitas apapun. Suara yang tidak percaya diri : kau tidak ingin dia atau siapa pun juga, selama hidupnya menyebarkan berita bahwa kau bangsat yang kurang ajar. Suara yang sopan : Kau cowok baik-baik dan cowok baik-baik itu tidak membuat cewek baik-baik kecewa.

Tapi walaupun suara-suara itu mengungkapkan kebenaran, tak satupun menyatakan kebenaran yang sesungguhnya. Bahkan kenyataan yang sesungguhnya itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan akal sehat. Tidak ada hubungannya dengan intelejensia. Ini masalah kebiasaan, sesederhana itu. Ini masalah yang telah terprogram dalam diriku. Bukan sesuatu yang kau pertimbangkan untuk kulakukan, ini sesuatu yang kuketahui secara insting.

Hari menjelang petang. Aku bersandar di dinding toilet bioskop dan menatap langit-langitnya yang terukir mozaik-mozaik indah. Ada satu hal jujur yang tidak kukatakan pada Tia, Viona, dan Poppy nanti. Aku hanya memperalat mereka. Yah, hanya sekadar pemuas nafsu belaka dan ajang taruhanku dengan Ryan . Ini murni soal uang, karena aku sendiri bukanlah orang kaya yang mampu menjalani hidup dengan gelimang harta. Aku hanya orang biasa dan menjalani hidup sederhana dengan sedikit kemewahan yang ingin kunikmati.
Setelah mencoba memantapkan diri dan mematangkan beribu skenario, akupun keluar dari toilet dengan senyuman lapang. Biarlah mereka menikmati saat terakhir bersama denganku. Karena besok, aku akan berkata. See You.

***

Dua bulan sebelumnya.  Kembali aku punya masalah dan melupakannya. Masalah yang sering terjadi pada setiap individu. Tagihan. Ya, begitu banyak tagihan yang merongrong minta dilunasi. Kebingungan yang terkadang membuat orang lupa diri. Namun, disaat tengah bimbang dan berpikir tentang manuver yang akan kugunakan untuk kepelikan ini. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar.
“ Masuk, tidak dikunci “ jawabku.
“ Hey man, Fight Now! “ teriak Ryan dan Toni membuka pintu kamarku.
“ Berisik! memang lagi di hutan? “ teriakku menegur keriuhan mereka.
“ Hehehehe, “ mereka tertawa lalu membuka jaketnya dan duduk disamping kanan kiriku, “ Ada apa man? “ tanya Ryan.
“ Tidak ada apa-apa kok “ jawabku sembari menyulut sebatang rokok.
“ Cerita saja, siapa tahu itu kami bisa membantu “ sambung Toni.

Ryan dan Toni adalah temanku sejak kecil. Teman seperjuanganku dalam meniti paradigma penuh nestapa. Kami bertiga suka bermain api dengan wanita. Ibarat kata, seperti The Three Musketers yang siap menembak mangsanya. Namun kami juga senang bercanda dan mengerjai satu sama lain. Pernah waktu sekolah, aku dikerjai oleh meraka. Saat itu bel sekolah sudah berbunyi sejak siang. Tapi, aku masih melamun galau termangu di bangku kantin sekolah. Tiba-tiba, Ray dan Toni menghampiri dan berkata bahwa aku dipanggil oleh Guru BK. Karena pikiranku sedang bleng. Maka tanpa sadar,aku menuruti perintah mereka. Ternyata, sesampainya di ruang BK. Aku malah bertemu penjaga sekolah kami yang botak dan sudah tua. Ia pun menyuruhku untuk membantunya mengepel dan menyapu. Karena tak tega, akupun mengerjakannya sambil bersungut-sungut dan mengumpat pada Ryan dan Toni.
“ Sialan, orang lagi galau. Masih saja di kerjai. “ gerutuku dengan kesal.
Tapi, meskipun begitu. Aku senang dan bersyukur akan kehadiran mereka. Mereka selalu membantu dan menghiburku disaat susah maupun senang. Yah, walau caranya agak aneh. Tapi itulah mereka.
Unik.


***


“ Oh, lagi elit nih ceritanya! “ kata Toni seusai kubercerita.
“ Elit itu apa, Ton? “ tanyaku setengah mendelik.
“ Elit. Ekonomi sulit. Hahahahaha. “ kamipun tertawa terbahak-bahak.
“ Uang lagi, uang lagi, “ Ryan memutus tawanya dan mengambil dompet, “ memang, kau butuh berapa Ray? “ tanyanya dengan nada bercanda dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu didompetnya.
“ Seadanya saja, nanti kuganti kok “ jawabku saat akan meraih pemberian dari Ryan.
“ Eitz, tapi ada syaratnya “ goda Ryan sambil menarik tangannya yang berisi uang.
“ Apa? “ tanyaku.

***

Hari ini cuaca terlihat cerah. Akupun pergi ke taman untuk mencari angin. Menenangkan diri dari keraguan akan kewajiban janji yang telah kubuat dengan Ryan. Puas berkeliling, akupun duduk di meja payung milik sebuah cafe yang berada di taman.  Menatap kerumunan manusia yang berlalu lalang dengan berbagai kesibukannya masing-masing. Didepan taman terdapat restoran cepat saji ternama milik perusahaan asing. Mereka menyetel musik dengan suara kencang dan memutar lagu-lagu cepat. Mengondisikan agar pelanggan makan cepat-cepat dan segera enyah dari restoran.  Karena ada banyak tamu yang membutuhkan meja kosong sedang menunggu di luar, apalagi saat sedang jam makan siang seperti sekarang ini, musik yang mereka putar semakin cepat.

Kuraih benda padat berbentuk persegi panjang yang sedikit tersembul keluar di balik saku depan celanaku. Kukirim sms kepada Viona, Poppy dan Tia dalam waktu bersamaan. Kukatakan pada mereka berbagai alasan yang terpikir, hanya untuk menuju satu kata yang mungkin di benci kawula muda saat ini. Putus. Ya, aku sudah cukup berhubungan dengan mereka. Apa yang kuinginkan telah tercapai. Tidak ada komplikasi. Sekadar goresan kapur di papan. Kesenangan kecil yang tidak ada ruginya Toh, tak ada tujuan lain yang harus kuraih. Untuk apa aku mempertahankan sesuatu untuk yang tak kuperjuangkan. Semua sudah selesai.
Tanpa menunggu lama untuk mendengar penjelasan yang bertele – tele dari mereka. nomor handphone langsung kucabut lalu menggantinya dengan nomor baru. Hanya menghindari hal – hal yang ngejelimet dan omongan yang malas untuk diperdengarkan. Kupatahkan SIM Card yang lama dan kubuang dengan mantap ke dalam tong sampah.
“ Selamat tinggal mantan-mantanku” pikirku dengan senyum yang mengembang.

Tak lama kemudian.
“ Gila! Tiga cwe man, diapain saja itu?  “ tegur Ryan tiba-tiba sambil menepuk pundak.
“ Huh, mengagetkan saja  “ ketusku dengan kesal.
“ Tenang Ray, bagaimana kronologinya? Cerita donk! “
“ Nanti saja, mana uangnya? “ sahutku kesal dan menjulurkan tanganku padanya.
Toni mengambil dompet dan memberikan uang taruhannya padaku “ nich, salut dah, kirain cuma besar di omongan doank. “
“ Enak saja, Siapa dulu? Raymond “ kataku dengan penuh kebanggaan.
Toni menyeringai dan mengangkat tangan “ Kapok dah, taruhan lagi. Cukup ini yang terakhir kalinya “.
“ Makanya, jangan meragukan kemampuan seseorang ” tegurku dengan wajah kebapak-bapakan.
“ Iye-iye, padahal kalau kalah, kudu cium banci tuch. Hahaha ” Kamipun tertawa dan segera melangkah masuk ke dalam mall.

Baru beberapa saat melepas beban di pundak. Mata ini seakan terhipnotis akan sesosok wanita yang cantik dan terkesan fashionable. Sensor mataku pun merespon serta mengobservasi hal-hal yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Bibir yang tipis. Sepertinya ia cakap dalam berbicara dan memiliki suara yang lembut. Kemungkinan, ia seorang moderator suatu perusahaan. Rambut yang hitam lurus terurai. Pasti ia rajin ke salon dan merawat dirinya. Pipi yang merah merona darinya menandakan bahwa ia siap untuk dimangsa. Rok mini yang melekat menawarkan sejuta keindahan yang tersembunyi. Kutaksir dia berusia antara dua puluh tiga dan dua puluh enam tahun. Jika ditilik dari hasil observasiku, sepertinya ia wanita karir yang kaya. Lampu diatas kepalaku pun menyala terang. Menandakan bahwa raga telah siap kembali untuk menerkam mangsa yang berada di depan mata.
Bak gayung bersambut, sapu tangan miliknya terjatuh tepat saat dia lewat di hadapan. Alasan yang paling logis untuk berkenalan dengannya. Singkat kata, aku telah berkenalan dan menyimpan nomor handphonenya. Tania Oktaviani. Nama yang bagus dan melambangkan keindahan. Sepadan dengan paras wajahnya yang cantik rupawan. Hanya soal waktu yang dapat mempererat tali hubungan ini ke tingkat yang lebih sensitive.

Delapan bulan telah berlalu. Dengan berbagai modus dan skenario yang telah dirancang sedemikian rupa. Akhirnya aku bisa jadian dan menjalin tali kasih diantara kami. Well, tepat dugaanku. Dia adalah wanita kaya, pemilik counter handphone ternama dengan berbagai outlet di kota ini. Dewi Fortuna benar-benar berpihak padaku. Disaat kondisi sedang kesulitan akan masalah ekonomi, datanglah dewi penolong yang bisa di siasati dengan berbagai alasan. Tak terhitung berapa banyak yang dikeluarkannya untukku. Ku tak perduli akan keikhlasan dan kebaikannya. Ku hanya memikirkan bagaimana caranya supaya dia tak tahu mengalir kemanakah arah pemberiaannya itu. Hampir setiap minggu aku meminta dengan alasan konyol untuk jumlah yang cukup besar. Namun dia seakan percaya saja dengan ucapanku. Padahal di balik semua alasan itu, diam-diam aku main belakang dengan wanita lain. Semenjak kehadiran dan kebaikannya pulalah, aku selalu berjudi di atas meja billiard. Tak perduli berapa tinggi tawaran bertaruh yang datang. Karena selalu ada bank berjalan yang siap membantuku di saat kalah. Kapanpun dan berapapun.
Ada satu hal jujur namun tidak kukatakan pada Tania selama ini. Aku tak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Aku hanya meperalat dan mengeretinya. Hal ini yang seringkali menyita waktu tidurku. Mengganggu setiap jalan pikiran positive yang ingin kulancarkan. Tapi aku sadar, aku tak bisa terus begini. Cepat atau lambat, aku harus berterus terang dan mencari alasan serta penjelasan yang tepat untuk memutuskannya secara baik-baik. Karena bagaimanapun juga, aku masih sangat membutuhkannya. Bukan hatinya. Namun hanya uangnyalah yang kubutuhkan.

Hingga akhirnya sebelum dapat ku realisasikan pemikiran itu, ia memergokiku tengah bermain billiard dengan tangan kanan merangkul leher seorang wanita dan tangan kiri memegang kartu.
“ Dia tahu darimana kalau aku disini ” Pikirku dengan setengah panik menyiapkan skenario jawaban.
Lalu Ia menghampiriku dan berteriak lantang, tepat di hadapan wajahku.
“ Owh, jadi begini ya kelakuanmu selama ini? ” Tanyanya mengawali pembicaraan dengan nada setengah berteriak dan tangan menunjuk ke segala arah. Lalu memandang dingin wanita disebelahku.
“ enggak bun, ini tak seperti yang kamu pikirkan! “ Jawabku gelagapan tak karuan.
“ Bullshit, I Hate you. Mulai saat ini. Kita putus. “ Tegasnya dengan suara kencang. Kontan saja seisi ruangan menoleh dan mendengar apa yang tengah terjadi.
“ Tapi . . . ! “. Tanpa diduga ia menamparku sambil meneteskan air mata yang keluar dari mata indahnya hingga terlihat begitu sayu.
“  tak ada tapi-tapian. Aku sudah berharap banyak denganmu. Aku benar-benar cinta padamu. Apa yang kamu minta, aku kasih. Karna hanya kamu dan kamu yang ada di hatiku. Tapi apa yang kudapat?. Baji*** . . . ! ”. Kata-katanya mulai keluar tak beraturan serta menekankan intonasi suara berat di akhir kalimat, sepadan untuk menemani suasana hatinya yang retak dan hancur berkeping-keping.
“ Tapi bun . . . ? ”
 “ jangan panggil aku lagi dengan kata itu. Jijik banget mendengarnya. Mulai detik ini dan seterusnya, jangan harap bisa kenal lagi sama yang namanya Tania, oke.  Titik!“ . Ia pergi dan berlalu begitu saja tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara atau menjelaskan. Inilah titik akhir perjalanan cintaku dengannya. Selamat tinggal kemewahan.
Tiba-tiba wanita yang kurangkul tadi,  datang menghampiriku. Ia pun menamparku dan berteriak tepat dihadapan wajahku.
“ aku juga minta putus! “ Lalu iapun juga pergi meninggalkanku.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Mendengar  semua tuduhan yang keluar dari separuh hatiku dan mulut orang lain sambil menahan rasa sakit yang baru saja kuterima.
“ Bang***. Baru kali ini seorang Raymond di permalukan oleh wanita di depan umum “. Gerutuku sambil berlalu menuju pintu keluar.

***

Sudah hampir seminggu semenjak tragedi memalukan itu terjadi.  Namun, segerombolan pikiran masih menguasai benakku. Aku tidak yakin pernah mengalami periode berpikir penuh konsentrasi seperti itu dalam hidupku. Kebanyakan tidak masuk akal. Paranoia bahwa aku akan mati, atau Tania akan kembali. Bersenjatakan tambang dan cambuk untuk menyakitiku. Tapi pemikiran besar yang terus-menerus muncul ke permukaan adalah: aku mati, aku akan mati tanpa menemukan orang yang ingin kuajak menjalani hidup bersama. Dan tak ada yang bisa disalahkan kecuali diriku sendiri. Mungkin inilah pelajaran yang ingin diajarkan Tania padaku.
Akhirnya aku melihat Toni berdiri di ambang pintu kamarku, tertegun.
“ Jangan bilang, “ tegurnya.
“ Jangan bilang apa? “ aku berhasil menjawab dengan suara serak.
“ Sudah kubilang. “
Toni duduk di ranjang dan mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya.
“ Tania? “ tanya Toni.
“ Ya. “
“ Sudah kuduga. “

Toni melirikku. “Kau benar-benar harus belajar menyalurkan sifat agresif berjudimu itu, tahu. Tidak baik untukmu. “
“ Apa? “
“ Ambil napas dalam-dalam, “ ujar Toni.
“ Apa? “
“ Rileks. Tenang. Mengalirlah mengikuti arus sebentar.”
“ Aku sedang tidak ingin mendengar apapun yang menyangkut omong kosong sekarang ini. Rileks?” tukasku. “ Bagaimana aku bisa rileks? Aku baru saja dipermalukan. “
Toni memberiku waktu sejenak untuk tenang, sebelum berkata, “ Dengar kawan, tidak ada yang sejelek itu. “
“ Keberatan untuk menjelaskannya? “ tanyaku.
Toni menghisap rokok dalam-dalam sambil berpikir, lalu mengusulkan, “ Objektivitas. Kau perlu bersikap objektif dalam hal ini. “
“ Objektivitas? “ semburku.
“ Ya, “ kata Toni, “ kau tahu, seperti kalau kau berdiri di atas bukit dan melihat ke kota dibawah, yang tampak sangat berbeda karena kau menjauhkan diri darinya. “
“ Toni, “ tandasku, “ Aku tidak yakin bahwa berdiri di atas bukit akan membantu masalahku. “
Toni mematikan rokoknya. “ Dengarkan saja, oke? “
“ Aku dengar. “

Toni menyulut rokok kembali dan mengambil segelas air. “ Pandangan objektifnya begini, “ dia mulai. “ Kau mengecewakan wanita yang menyayangimu. Dia mendapati kau bermain api diatas bara tanpa sepengetahuannya. Akibatnya dia sekarang menganggapmu keparat rendahan tak berguna yang pantas dipanggang di neraka. Pendeknya, dia tak mau melihatmu lagi. “
“ kenapa tak di tusuk aja, sekalian! “
“ Oke, “ ujar Toni, “ lupakan objektivitas. Kau benar secara objektif. Tapi, “ tambah Toni, setelah jeda sebentar, “ keadaan bisa saja lebih buruk. Kau masih hidup. Dia juga. Hal-hal menyebalkan terjadi. Yang seperti itu memang sering terjadi pada kita, bukan? “
“ Tidak Ton, “ sela ku, “ aku tidak percaya, sebagai contoh, hal itu terjadi padamu. Coba jawab pertanyaanku ini: pernahkah kau dipermalukan di depan umum oleh seorang wanita? “
“ Tidak. “
“ Nah, jadi kan hal itu tidak terjadi pada kita semua. Tapi terjadi pada beberapa orang. Dan itu kuakui. Aku tidak punya masalah dengan hal itu. “
“ Lalu, apa sebenarnya masalahmu? “
“ Masalahku adalah, seharusnya itu tidak terjadi padaku.” tandasku.
“ Kenapa tidak? “

Kupegangi kepalaku dengan kedua tangan. “ Karena aku sangat menyesal, Ton. Dan aku sedang berusaha untuk menyayanginya. Aku menghabiskan seluruh hidupku berbohong pada wanita, menyembunyikan semuanya. Aku lelah, Ton. Aku ingin berubah. Tapi hasilnya apa? Aku di permalukan. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. “
“ Menurutmu, apakah akan ada bedanya, “ tanya Toni, “ kalau dia mendengar penyesalanmu?”
“ Ya, “ gumamku, “ menurutku begitu. “
Toni meletakkan tangannya di bahuku. “ Sadarlah kawan, berilah dirimu waktu untuk menenangkan diri. Lupakan sejenak apa yang menjadi bebanmu saat ini. Percayalah, “ dia menyakinkanku, “  ia tak mungkin membencimu selamanya. “ Mata Toni menerawang. “ Seperti kata pepatah,  kalau kau menyayangi sesuatu, lepaskan saja. Kalau dia kembali, dia akan menjadi milikmu selamanya. Jika tidak, memang bukan takdirnya. Mungkin saja ,” Toni menambahkan, “ takdirmu sekarang sedang tercecar di luar sana. Kau hanya perlu menunggu dan menindaklanjutinya di waktu yang tepat.” Toni menghela napas panjang. “ Dunia ini luas Ray, jangan biarkan dirimu terombang-ambing oleh prasangka yang tak menentu. Kendalikan hidup dalam genggamanmu. Lagipula, “ ia berdiri lalu mengambil jaketnya yang tergantung di pintu, “ wanita masih banyak kali, mati satu tumbuh seribu. Hahaha.” Katanya dengan nada bercanda.
“ Mau kemana, Ton? “ tanyaku.
“ keluarlah, hunting kita.” Jawabnya sambil melempar jaket ke wajahku.
“ Galau terus, enggak bagus. “ Ia pun berlalu meninggalkanku.

Beruntung aku mempunyai teman yang sebaik Toni. Selalu ada disaat duka maupun duka. Tak perduli seberapa sombongnya diriku. Tak perduli seberapa kasarnya tindakan dan ucapanku. Dia selalu datang. Dan di waktu seperti inilah ia ada. Menemani dan menghiburku saat terjatuh. Berusaha untuk membangkitkanku kembali dengan perkataan positive yang sedikit banyak merasuk. Bagi Toni, ucapannya itu sangat dalam. Aku hanya bisa menyimpulkan, butuh jenius besar untuk mengeluarkanku dari masalah ini.

***

Cuaca malam ini sangat cerah dan cepat sekali berubah. Tadi siang, saat aku di kerubungi oleh perasaan getas tak menentu. Hujan turun dengan deras membasahi bumi. Seolah ikut bersedih atas apa yang kurasakan.Di langit, hanya dalam waktu lima menit, awan hitam yang sejak sore membungkus langit kota kelahiranku ini tersaput entah kemana. Bintang gemilang satu demi satu mulai “malu-malu” bermunculan. Ditutup dengan kehadiran purnama bundar yang indah. Dan lagi-lagi, seperti mengikuti suasana hatiku yang mulai tenang dan butuh kebebasan kembali. Akupun melirik pergelangan tanganku. Kulihat masih jam tujuh. Pantas saja banyak anak muda yang berlalu lalang. Tapi, kemana aku akan dibawa Toni?. Setiap kutanyakan padanya, ia selalu menjawab dengan jawaban yang sama.
“ Want to know, ajah! “

Ternyata, Toni mengajakku ke sebuah konser musik di sebuah kampus ternama dikota ini.
“ Sebentar ya, Ray! “ Ia pun berlalu dan berbicara kepada seorang wanita di loket tiket.
Akupun menunggu, lalu memperhatikan dirinya menunjuk-nunjuk kearahku. Tak lama kemudian, iapun memanggil dan memintaku untuk menghampirinya.
“ Ini orang yang sering kuceritakan itu, Tin “ kata Toni sambil menepuk pundakku.
Orang yang ditepuk pundaknya menjadi salah tingkah dan berpikir tentang berbagai pertanyaan yang menghujam. “ Diceritakan? Cerita apa si Toni? Cerita yang jelek-jelek lagi “ pikirku tak menentu.
Suasana seperti hening dan terhenti beberapa saat aku memandang detail wajahnya. Akupun seperti sapi ompong yang tak tahu harus berbuat apa.
“ Kenalan donk “ goda Toni memecahkan suasana dan seakan mengetahui apa yang menjadi resah pikiranku.
“ i…iya, namaku Ray. Raymond R. Ramadhan “ sapaku gelagapan saat menjulurkan tanganku.
“ Sudah tahu koq. Oh iya, namaku Tina “ jawabnya lembut dan menyambut tanganku.
Kulit tangannya terasa lembut. Sepadan dengan paras indahnya yang dapat membuat semua pria terpesona oleh kecantikannya. Membuatku berpikir yang tidak-tidak.
“ Woy, lama juga pegang tangannya “ sahut Toni membuyarkan lamunanku, akupun cepat-cepat melepaskan tanganku dengannya.
“ Duluan ya, Tin “ kata Toni menambahkan. Lalu ia pun mengajakku ke dalam.

“ Tadi siapa, Ton? “ tegurku.
“ Lah, bukannya tadi sudah kenalan? “ jawab Toni dengan memasang wajah kebingungan.
“ Ah, capek dah ngomong sama orangutan “ sungutku dengan sedikit bercanda.
“ Kenapa? Naksir ya? Mengaku saja? “ goda Toni.
“ Nggak sih, cuma mau tahu aja “
“ Masa? “
“ Suer dah! ”
“ Ya sudah kalau tak mau mah! “ kata Toni penuh teka-teki.
Memang terkadang kami. Aku, Toni dan Ryan. Seringkali saling menjelek-jelekkan satu sama lain. Namun  hanya berlaku pada lawan jenis kami. Itupun tak terlalu mengungkap tabiat dan karakter. Kebanyakan karangan sendiri. Sekadar lelucon tak bergores.

Yang dimaksud dengan konser musik disini. Ternyata tak semegah yang kubayangkan. Mungkin karena sedikit sponsor yang masuk. Atau mungkin karena ini acara kampus. Sehingga, hanya orang dalam yang bisa menikmatinya.”  Tapi, kenapa aku bisa masuk? “ pikikrku. Kutatap sekeliling lapangan yang penuh keriuhan suasana dengan panggung sebagai pusatnya. Tepat dihadapanku, berjejal kerumunan manusia yang bergoyang mengikuti irama lagu sebuah band. Mungkin band ternama dari kampus ini. Di sebelah kanan dari pintu masuk, terdapat sebuah bangunan bertingkat lima yang digunakan untuk aktivitas perkuliahan. Disebelah kiri terdapat taman kecil dengan bangku panjang yang mengitarinya dan juga ada stand-stand  yang telah penuh sesak oleh orang yang tak ingin maju ke panggung. Atau mungkin, karena mereka kelelahan. Selang tak lama kemudian, Toni mengajakku ke sebuah stand makanan ringan yang cukup ramai oleh para pengunjung.

“ Akhirnya, bantuan datang juga “ kata Ryan sambil melayani seorang pengunjung. Ia tampak seperti koki restoran bintang lima. Mengenakan celemek berwarna cerah dipadu dengan topi putih panjang yang bertengger diatas kepala. Benar-benar matching sekali untuk dilihat.
“ kenapa dengan pakaianmu, Yan? “ tanyaku setengah keheranan dan menerka-nerka tentang apa yang terjadi sebenarnya.
“ Lah, memang Toni belum cerita ya? “ Jawabnya dengan wajah yang tak menatap ke arahku. Mungkin karena saking sibuknya melayani pembeli. “ parah dah Toni, menjebak anak orang terus! “ timpalnya.
“ menjebak? maksudnya “ aku semakin tak mengerti pemikiran temanku yang satu ini. Lalu akupun menatap kesekitarku. Benar saja, Toni sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya.
“ kena jebakan betmen lagi dah! “ pikirku menyumpahi Toni yang telah berhasil menjalankan misinya.
Lima belas menit kemudian, stand itu sudah tak begitu ramai. Sehingga ia tak terlalu sibuk untuk melayani. Hanya sesekali pembeli yang datang. Ryan lalu menaruh sebuah papan segitiga bertuliskan closed  di meja stand itu dan mengajakku ke taman sambil membawa kantong plastik berwarna hitam.
Kami berdua duduk disebuah bangku yang tak jauh dari stand tempat Ryan melayani tadi. Lalu ia pun berkata, “ Begini Ray, kau kan tahu! orangtuaku mempunyai usaha menjual makanan ringan seperti gorengan tadi. Nah, Toni mengajakku untuk membuka stand di kampusnya ini “.
“ ya, aku tahu “ ujarku, “ tapi, sejak kapan Toni kuliah? “
“ baru-baru ini sih. Tapi dia cukup mengenal EO-nya acara ini, katanya sih teman sekolah dulu. Makanya aku diperbolehkan untuk membuka stand “ ia mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarinya padaku “ dan kuingin kau membantuku melayani pembeli, orangtuaku sedang sakit. Jadi aku sendiri yang berjualan disini “
“ Tepat seperti dugaanku “, aku mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, “ Tapi, koq tak ada yang memberitahu kalau dia kuliah! “ cetusku sedikit kesal.
“ Makanya, jangan main wanita terus! Yasudah lah, ayo pakai ini “ katanya sambil membuka kantong plastik yang dibawanya.
“ Harus pakai ini juga? “ tanyaku mengangkat celemek berwarna sama dengan yang digunakan Ryan, “ terus, Toni kemana? “
“ iya lah, Toni sedang menyelesaikan urusannya dahulu, nanti juga ia ikut membantu “

Aku menyandarkan kepalaku di bangku taman dan tersenyum sendiri mengingat bayangan seseorang yang kutemui di pintu masuk tadi.
“ woy, jangan bengong saja, bantuin donk “ teriak Ryan membuyarkan lamunanku. Ku lihat, ia telah  bergelut dengan pekerjaannya kembali. Sejak kapan?.
 Akupun segera bangkit dan mengenakan celemek yang tadi kuterima.  Paling tidak, perasaanku tidak seburuk tadi.

***




Suasana di acara malam itu benar-benar meriah. Sangat meriah. Beberapa band telah naik ke atas panggung untuk menunjukkan kemampuan bermusiknya. Ada yang beraliranreggae, punk melodik, scream bahkan sampai yang metal ( melayu total ). Hampir setiap individu yang hadir turut bergoyang tanpa henti mengikuti irama. Tak peduli lagu apakah yang dinyanyikan? Tak peduli pula apakah ia pria atau wanita? Tak peduli lagi akan yang terjadi di sekitarnya? Mungkin mereka berharap bahwa malam ini takkan pernah usai.
Aku kembali tersenyum. Menatap sesosok makhluk terindah dibalik ribuan bayangan orang di sekitarnya. Tertegun dan terpana saat ia berjalan menghampiriku.

“ hello Ray, ada Toni-nya enggak? “ sapanya saat berada di balik meja stand tempatku berdiri.
“ hello juga, wah Toni-nya lagi pergi tuch! “ jawabku memasang ekspresi wajah seteduh mungkin, agar ia tak menangkap gelagat salah tingkahku.
Untungnya, Ryan dapat menangkap gelagatku. Jadi, ia seperti memberiku ruang dan waktu agar hanya aku yang dapat melayani dia. Ryan pun seperti menghadang pembeli yang datang supaya cuma dia saja yang bisa melayaninya saat ini.
“ Yah, padahal aku ada perlu dengannya! “ cetusku dengan wajah sedikit cemberut dengan pipinya yang membusung. Membuatku semakin terpesona dengannya.
“ Terus? “ tanyaku seolah berharap ia tak cepat pergi dari sini.
“ Ya sudahlah, nanti saja aku ke sini lagi “ jawabnya.
Ia pun berlalu pergi meninggalkan stand tempatku berdiri. Membuatku berpikir seribu kali lebih cepat agar dapat bertemu lagi dengannya.
“ Tina…! “ teriakku saat ia baru pergi beberapa langkah dari tempatku.
“ Ada apa, Ray? “ jawabnya sedikit kencang untuk mengimbangi suara musik yang terlalu bergemuruh.
“ Daripada nanti, kau kesini lagi tapi Toninya tidak ada, lebih baik nanti kuhubungi “.
“ Memang punya nomorku? “ tanya dengan setengah mendelik dan menghampiriku.
“ Tidak sih! “ jawabku memasang wajah polos.
“ haha… yasudah, nich nomorku “ seraya memberikan kartu namanya padaku, “ kasih tahu ya jika Toni sudah balik! “ katanya sambil berlalu dan benar-benar pergi dari hadapanku.
“ Siph dah “ jawabku dengan senyum yang mengembang.
Akupun kembali bergelut dengan tugas yang sudah menjadi kewajibanku saat ini.

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Aku melirik pergelangan tangan kananku. Sudah hampir pukul sebelas malam. Acara pun telah mendekati kata selesai. Kulihat, Ryan tengah menghitung pendapatannya. Sudah waktunya untuk berbenah. Tapi, kemana Toni?.
Tak berselang lama, terlihat sesosok makhluk yang berjalan menghampiriku.
“ Kemana aja, Ton? “ tanyaku.
“ Biasa, seksi sibuk. Hahaha. “  jawabnya dan meneguk sebotol air di hadapanku.
“ Wow…!  Eh, tadi si Tina nyariin tuch “ kataku.
“ ya sudah, suruh ke sini aja “ sahutnya sambil mengibas – ngibaskan tangan ke wajahnya.
Ku raih kantong celanaku, dan mengambil HP yang sejak tadi tak diaktifkan. Semenjak kejadian tempo hari, aku jadi malas untuk memegang HP. Atau lebih tepatnya, tak ingin diganggu oleh siapapun.
Kuambil kertas yang tadi diberikan Tina, lalu menelponnya.
“ Halo “ sapaku.
“ ya, siapa ini “ tanya seseorang di seberang telepon.
“ ini Raymond, Toni-nya ada tuch “ jawabku.
“ owh, oke. Aku kesana “
“ Oke juga “ sahutku lalu menutup telepon.
“ Toni… bantuan berbenah donk! “ teriak seseorang di dekat panggung sana.
“ Iya, sebentar “ jawab Toni dengan nada setengah berteriak, “ kesitu dulu ya, Ray! “. Ia pun berjalan menjauhiku dan melempar botol air mineral dalam genggamannya.
“ Tapi, Ton. Si Tina katanya mau kesini “ sahutku.
“ Suruh tunggu. Ajak ngobrol kek “ jawab Toni sambil mengedipkan matanya ke arahku, lalu berlari ke panggung.
Beribu pertanyaan menghujam dalam pikiranku. Memikirkan jawaban dari kedipan mata Toni.
“ Roman-romannya kena jebakan betmen lagi nih “ pikirku.
Suasana begitu tenang saat acara telah usai. Hanya terlihat beberapa orang yang berlalu lalang. Sudah saatnya untuk pulang. Lalu Ryan mengajakku untuk membantunya membereskan stand. Tak berselang berapa lama, Tina datang menghampiriku. Iapun menyapaku saat tengah merapikan meja stand.
“ Hay, lagi sibuk nih “ sapanya
“ Ah, tidak juga. Sebentar lagi juga selesai “ jawabku.
“ Toninya kemana? “ tanya Tina sambil melihat kesekitarnya, “ kok, gag ada? “
“ Dia sedang merapikan peralatan. Tuch, yang di dekat panggung “ sambil menunjuk kearah kerumunan orang.
“ Yah, ramai. Nanti bilang saja ke dia, Tinanya nunggu di bangku taman. Oke! “
“ Siap, laksanakan “ godaku dengan mengangkat tangan sebatas alis.
“ hehehe… “

Akupun segera kembali bergelut dengan pekerjaan yang tadi kutinggalkan. Namun baru saja memulai, tiba-tiba Ryan datang menghampiriku dan berkata, “ udah, temenin saja dulu. Masa wanita disuruh menunggu sendirian “.
“ Tak enaklah, baru kenal” sungutku seolah-olah tak perduli.
“ Pakai jurus Terkaman HaRAYmau donk. hahahaha” kata Ryan dengan nada tawa yang membahana’.
“ Ssst… kalem aja! Gag tahu orang lagi ngumpulin tenaga dalam apa!” celetukku sembari menirukan gerakan silat tak jelas.
“ Yaudah, terserah monyet aja “
“ Iye bawel “ gerutuku lalu meninggalkannya.
Belum sampai lima langkah kuberjalan, terasa ada hal yang mengganjal dalam omongan Ryan tadi.
Sadar akan perkataan yang menjengkelkan. Segera saja kulepas celemek yang semenjak tadi masih menempel, lalu melemparnya kearah Ryan yang sedang duduk santai.
“ Sialan, enak banget ngatain orang monyet! “ teriakku dengan nada sedikit menahan tawa.

Ada jarak beberapa meter sebelum sampai dibangku tempat Tina berada. Entah mengapa,detak  jantung seolah tak mau berdamai dengan situasi yang diharapkan. Rasadag dig dug yang meragukan hentakan kaki untuk bergerak lebih jauh. Namun disaat rancangan manuver yang akan digunakan, terskema didalam pikiran. Tiba – tiba…

“ Eh, Raymond! Toni-nya udah datang? ” tegur Tina membuyarkan lamunan.
Karena mendapatkan serangan kondisi yang tak terduga dari pihak lawan. Akupun dengan enteng menjawab, “ Belum tuch “, lalu menghampiri dan duduk disebelahnya.
“ Lah, siapa yang suruh duduk? “ tanyanya setengah mendelik.  
Orang yang ditanyainya pun menjadi salah tingkah dan berdiri kembali. “ maaf, keceplosan “ jawabku dengan wajah polos.
Demi menangkap gelagat salah tingkah atau kepolosanku, tiba-tiba ia tertawa pelan kemudian tersenyum kearahku. Lalu berkata, “ mau tidak, jadi pacarku? “.
Bagaikan mendapat serangan kejutan listrik seribu volt. Pikiranku menjadi buncah tak terkendali. Hilang sudah kesadaran yang menyelimuti seluruh raga. Kembali ku bertingkah aneh karena memikirkan jawaban yang harus dikembalikan. Namun, belum sempat menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba ia kembali tertawa dan mencoba untuk berbicara menenangkan situasi. “ Bercanda koq Ray, jangan dibawa serius begitu. Memang mau, jadi yang ketiga? “
Lemas bagai tak bertulang raga ini, karna mendengar pernyataan yang melegakan dan mengecewakan.
Tanpa sepatah kata, akupun duduk kembali disebelahnya.
“ Benar ya kata Toni, kau itu kalau galau mudah sekali untuk digoda “ tukas Tina menyeringai.
“ hmmm, kerjaannya si Toni “ pikirku, lalu hanya menjawab dengan dengusan sebal.
“ yah, gag usah marah gitu donk! “ tegur Tina dengan wajah sedikir cemberut karna seolah diacuhkan.
“ iya, maaf “ jawabku.

Awal mula pembicaraan, terkesan kaku dan seperti sebuah wawancara tanya jawab. Hanya bercerita tentang Toni, konser musik yang menjemukan, hingga pertukaran biodata masing-masing. Yang seringkali ditutup olehnya, dengan jawaban “ udah tahu “.
Namun ternyata, Tina itu wanita yang supel dan asyik untuk diajak berbicara. Tak jarang kami tertawa akan suatu hal yang bagi kami terasa lucu. Lambat laun, perbincangan ini semakin menyenangkan. Jika dilihat dari sudut pandang pengunjung yang berlalu lalang, mungkin kami bagaikan sepasang anak manusia yang tengah menjalin chemistry. Walau pada kenyataannya, memang seperti itulah yang seharusnya ku harapkan.
Sudah lebih dari satu jam, pembicaraan ini mengalir begitu saja. Tanpa dianyana, tiba-tiba Toni datang dan menegur, “ udah akrab nih! “, lalu pergi begitu saja meninggalkan kami berdua.
“ Ton, mau kemana? “ tanyaku hampir berbarengan dengan Tina.
“ cie-cie, barengan neh…! “ goda Toni, “ mau ke Ryan dulu, sebentar “ sambil memperagakan gerakan orang mau minum.
Yang di tegurnya pun menjadi salah tingkah.
“ ngobrolnya dilanjutin aja “, Toni menambahkan, “ panggung masih membutuhkan seorang dekorator professional “. Ia pun berlalu dengan senyum yang membanggakan.

“ sok amadh, kamarnya sendiri aja udah kayak kapal pecah “ sungutku.
 Tiba-tiba, Tina mengajukan pertanyaan yang cukup mengagetkan.
“ ehem… kata Toni, kau galau karena wanita. Emang bener ? “
Pikiranku pun menjadi sedikit naik pitam demi mendengar pertanyaan seperti itu. “ sialan si Toni, rahasia orang maen dibuka-buka aja ” pikirku geram.
Entah karena menangkap gelagat dariku, Tina lalu menambahkan, “ maaf Ray, bukan maksud untuk ikut campur. Kalau memang tak mau dijawab juga tak apa. Tapi, tolong jangan bawa-bawa Toni ya? ” pintanya.
“ Bukan tak mau cerita, takutnya nanti kau ilfil. Tapi, baiklah. Setidaknya itu bisa sedikit melegakan beban pikiranku “ jawabku sedikit meragukan.
Namun ternyata Tina itu seorang pendengar yang baik. Sehingga tanpa sadar, akupun berceloteh bak kereta yang sedang melaju kencang dan tak memperdulikan apapun.

“ oh, begitu ceritanya “ kata Tina mengakhiri pembicaraan.
“ ya, makanya sebenarnya tak ingin diceritakan “.
Tak lama berselang, Toni tiba-tiba datang mengagetkan.
“ wah, udah mulai kebuka nih. Btw, mau pulang gag? “ tanyanya.
“ yaudah ayo “ jawabku sembari bangkit dan ingin berpamitan pada Tina dan Ryan.
“ Lah, siapa yang nanya situ? “ tukas Toni menahan tawa.
“ terus? “ jawabku keheranan, “ masa datangnya dijemput, pulangnya gag dianterin? “
“ begini lho, Ray! “, Toni menyalakan sebatang rokok lalu menjelaskan suatu hal.


15menit kemudian.
“ maaf ya, jadi ngerepotin “ tegur Tina.
“ gapapa koq “ jawabku.
“ sebenarnya sih tak enak juga sama kalian “
“ tenang aja.“ iseng, kugeser arah kaca spion agar dapat melihat sedikit wajahnya. “ memang gag dijemput sama cowo’nya? “ tanyaku polos.
Tiba-tiba Tina menghela napasnya dan berkata pelan padaku, “ jangan tanya seperti itu lagi ya, Ray. “ lalu ia menambahkan, “ dan jangan tanya kenapa! “
“ eh, maaf ya Tin. “
Ia lalu menggeser posisi duduknya lebih dekat lagi, “ nanti jangan sampai depan rumah ya. “
“ memang kenapa? “ tanyaku dengan tetap fokus ke jalan.
“ mama terkadang suka marah-marah jika aku dianter pulang cowo yang belum mama kenal “ katanya menjelaskan.
“ oh, sip dah. “ pikiranku pun bermain dalam seribu imajinasi agar pembicaraan itu tak terhenti di situ saja, apalagi ditambah dengan situasi yang menjadi sedikit kaku akibat salah ngomong tadi.

“ Tin, malam ini cuacanya cerah ya! “ Basa-basi yang sangat klasik dan tak berbobot.
“ ya,  bulannya juga terlihat indah “ lirihnya pelan dengan sedikit terisak.
Entah apalagi yang harus dikatakan untuk memperpanjang pembicaraan yang terkesan standar itu. Bukan karena tak ada topik pembicaraan ataupun rasa gugup untuk berkata. Namun lebih karena rasa emosional yang tak terkendali saat Tina memeluk tubuhku dari belakang dan berbisik pelan, “ pinjam punggungnya ya, Ray! “.
Kuharap malam ini tak pernah berakhir.


***



Seorang pria berdiri tenang di dalam hall sebuah Mall. Menatap tenang pengunjung sekeliling yang berlalu lalang tiada hentinya. Hatinya gelisah karena yang ditungguinya sejak tadi tak kunjung tiba. Ia memang sengaja datang ke sini, untuk menemui seseorang. Ya, Martina Devi. Sebuah nama yang membuatnya mampu menahan diri untuk menunggu hingga sekian lamanya.

“ Hay, maaf ya telat! “
“ Gapapa koq “
“ Udah lama nunggu ya? “ tanyanya dengan setengah mendelik.
“ Baru aja datang “ Jawabku dengan senyum menyakinkan.
Tina menarik nafas lega. Ia khawatir Ray akan kecewa padanya. Namun, ia tak pernah tahu bahwa Ray telah menunggu hampir satu jam lamanya.
“ Mau kemana neh, Ray? “ tanya Tina.
“ Gag kemana-mana sih! Nyari suasana aja “ jawabku sembari mengajaknya menuju lift.
“ Mang kenapa? “
“ Yah, lagi jenuh aja dengan rutinitas “
Mereka telah keluar dari pintu lift dan berada dilantai lima Mall tersebut. Tak lama melangkah, mereka melihat sebuah cafeteria. Ray pun mengajak Tina masuk kesana.
“ Selamat datang di Café Seratoes “ sapa seorang pramusaji kafe tersebut, “ ada yang bisa kami bantu “
“ Saya Raymond, kemarin sudah memesan tempat disini “
“ Sebentar  ya!“ ia lalu membuka sebuah buku, “ Pak Raymod ya? Mari saya antar “
“ Terima kasih “ jawabku dan mengikuti langkah pramusaji menuju meja bertuliskanReserved di pojokan dekat jendela.

“ Kau tau darimana ada sebuah Café disini? “ tanya Tina mengawali pembicaraan.
“ Ryan dulu pernah bekerja disini “
“ Oh, tapi nama Cafenya lucu ya! “
“ Kenapa ? “
“ Angka Seratus kan angka yang melambangkan kesempurnaan saat masa-masa sekolah “
“ Ya, saat itu aku berharap banyak mendapat keberuntungan menempati angka itu. Dan hari ini pun aku beruntung dapat duduk bertatapan mata denganmu “
“ Yah, mulai dech gombal gembelnya keluar “
“ hehehehe…! “

Tak lama kemudian, seorang pramusaji datang dan menawarkan daftar menu kepada kami.
“ Mau pesan apa, pak “ sapa pramusaji itu dengan sopan.
“ Jangan panggil Pak donk! Memang saya keliatan seperti bapak-bapak ya? “
“ Maaf mas! “ ralat pramusaji itu.
“ Yaudah, kalo itu gapapa dech “ sungutku setengah bercanda.
“ Ye, malah ngegodain mbaknya. Ditungguin tuch! Mau pesan atau gag? ” tegur Tina setengah mendelik.
“ iya-iya. Saya pesan ini dan ini satu “ kataku sembari menunjuk sebuah nama didalam daftar menu.
“ kalau mbak, pesan apa? “ tanya Pramusaji kepada Tina.
“ Samain aja “ jawabnya.
“ mbak, kalau buat dia. Tolong ditambahin bumbu harapan dan kasih sayang ya? “ celetukku.
Pramusaji itu pun hanya tersenyum lalu permisi dan berlalu meninggalkan kami.
“ Ngaco aja neh  “ tukas Tina.
“ Biarin aja “ jawabku seolah tak perduli.


Jika ada sepasang muda-mudi yang sedang bercengkrama di sebuah café. Mungkin mereka sedang melepas lelah dan penat dengan rutinitas mereka.  Jika melihat suasana yang terpancar dari cahaya lilin yang temaram diatas meja.  Bisa dikatakan bahwa mereka adalah sepasang insan yang sedang memadu kasih serta merajut benang merah diantara mereka. Dengan suasana yang seperti demikian. Tatapan yang melihat pun akan berpikiran bahwa sang pria sangat romantis dan kemungkinan akan menyatakan sesuatu tentang hubungan mereka. Namun, bukan seperti itu yang terjadi. Kenyataannya, mereka hanya berteman. Dan pembicaraan yang keluar pun, melesat tidak seperti yang diperkirakan. Lebih banyak tentang kehidupan pribadi mereka serta guyonan yang sedikit klasik.

“ Susah ya mencari cowok baik – baik “ tukas Tina pada suatu kesempatan bicara.
“ Maksudnya? “ tanyaku tak mengerti.
“ Ya, seseorang yang baik, pengertian dan peduli terhadap pasangannya gitu? “
“ Yah, kebaikan itu kan relatif? Masak kalo seorang cowok mencium pasangannya, itu suatu kejahatan?   Bagaimana dengan keinginan seorang wanita yang terkadang menuntut dan menginginkan saat romantis seperti itu! “
“ Ye… kebanyakan pria kan punya pacar dimana-mana? “
“ Apa salahnya? “
“ Maksudnya? “ giliran Tina yang tak mengerti.
“ Kalau seorang pria punya pacar dimana-mana, hanya ada satu kemungkinan saja sebabnya! “
“ Apa itu? “
“ Nah, itu karena wanita terlalu menganggap dirinya amat baik, sehingga terlalu curiga pada pasangannya. Sebetulnya kita biasa saja dalam mengenal lawan jenis, kita terima saja dirinya apa adanya. Baik dia itu sebagai pembantu, kuli, atau karyawan, bahkan seorang dosen. Dengan begitu kau bisa menilai seseorang lebih netral. Jika kau tak mampu mengikat hati seorang pria, lepaskan saja. Berarti dia tak merasa tepikat olehmu. Begitupun sebaliknya “.  Jelas Ray.
“ Kok segampang itu? “
“ Kita ini memang menghadapi hidup yang penuh dengan kepalsuan. Namun akan lebih bijaksana, jika menyingkapinya itu dengan kesederhanaan. Sehingga semua persoalan pasti terurai dengan sederhana pula. Sebaliknya kalau dibuat rumit dan tertunda-tunda. Ya, susah juga! ”
“ Tapi kan ada kalanya sebuah persoalan itu tak bisa diselesaikan secara sederhana “.
“ Yah, sebenarnya semua jawaban itu tergantung dari diri sendiri dan pemicunya. Jika memang itu terasa sangat sulit. Mau tak mau, kau harus membujuk diri untuk berdamai dengan hati “.
“ Makin gag ngerti dah “.
“  Hehm, “ aku mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, “ jawaban itu kan tercipta dari bagaimana kemampuan seseorang dalam menyimpulkan. Dibantu dengan sebab, akan pertanyaan dari jawaban itu “.
“ Semakin saya tak mengerti “ goda Tina dengan senyum penasaran.
“ Haduh, gimana ya? “
“ Ya gag tau! “.
“ Jeh malah ngeledek. Begini saja dech. Mau mendengarkan sebuah cerita? “
“ Mau! Mau! “ sahut Tina seperti anak kecil yang kegirangan.
“ Hahaha… Jadi begini ceritanya “ ujarku dengan sikap seorang pembawa acara, “ Dulu pernah hidup dua pemahat hebat… Meraka terkenal, sehingga diundang seorang Raja untuk berlomba di istananya. Mereka diberikan sebuah ruangan besar dengan tembok-tembok batu berseberangan. Persis di tengah ruangan dibentangkan tirai kain. Sempurna membatasi, memisahkan, sehingga pemahat yang satu tidak bisa melihat yang lain. Mereka diberikan waktu seminggu untuk membuat pahatan paling indah yang bisa mereka lakukan di tembok batu masing-masing “.

Aku menghela sejenak, lalu menambahkan “ Kau tahu apa yang terjadi? “
“ Ya enggak lah! “ celetuk Tina semakin penasaran.
“ Pemahat pertama memutuskan menggunakan seluruh pahat, alat-alat, dan berbagai peralatan lainnya yang bisa dipergunakan untuk membuat pahatan indah di tembok batunya. Dia juga menggunakan cat-cat warna, hiasan-hiasan, dan segalanya. Orang itu terus memahat berhari-hari, tidak mengenal lelah, hingga akhirnya menghasilkan sebuah pahatan yang luar biasa indah. Siapapun yang melihat, pasti tak dapat membantah betapa indah pahatan itu. “

“ Setelah itu? “.
“ Tirai kemudian dibuka, tercengang si pemahat pertama. Meski sudah bekerja keras siang-malam. Persis dihadapannya, pemahat kedua ternyata juga berhasil memahat dinding lebih indah darinya. Berkilau indah. Berdesir si pemahat pertama. Berseru kepada Raja, dia akan mengalahkan pemahat kedua. Maka tirai ditutup lagi. Tanpa henti , pemahat pertama mempercantik dinding bagiannya berhari-hari. Hingga dia merasa saingannya tidak akan bisa membuat yang lebih indah dibandingkan miliknya “. Jeda sejenak, karena pramusaji telah datang mengantarkan pesanan. “ Tirai dibuka untuk kedua kalinya. Apa yang dilihat pemahat pertama? Sungguh dia terkesiap. Ternganga. Dinding di seberangnya lagi-lagi lebih elok mempesona. Dia berdesir tidak puas. Berteriak meminta waktu tambahan lagi. Begitu saja seterusnya, hingga berkali-kali. Pemahat pertama terus meminta waktu tambahan, dan dia selalu saja merasa dinding batu miliknya kaliah indah dibandingkan milik pemahat kedua “.

“ Lah, kok bisa gitu? “ tanya Tina keheranan.
“ Pemahat kedua itu sejatinya tidak melakukan apapun terhadap dinding batunya. Dia hanya menghaluskan dinding itu secemerlang mungkin, membuat dinding itu berkilau bagai cermin, Hanya itu… Sehingga setiap tirai dibuka, dia sempurna hanya memantulkan hasil pahatan pemahat pertama “.
“ Oh…! “ angguk Tina.
“ Nah, itulah beda antara orang-orang yang keterlaluan mencintai dunia dan hidupnya. Dengan orang-orang yang bijak dalam menyingkapi hidup. Orang-orang yang terus merasa hidupnya kurang, maka dia tidak berbeda dengan pemahat pertama, tidak akan pernah merasa puas. Tapi orang-orang bijak, orang-orang yang berhasil menghaluskan hatinya secemerlang mungkin, membuat hatinya bagai cermin, maka dia bisa merasakan kebahagiaan melebihi orang terkaya sekalipun “.

“ Hemmm, begitu ya! “
“ Ya, itu cuma sebuah cerita. Bagaimana prakteknya, kau sendiri yang menjalaninya “
“ Paham dah pak guru “ goda Tina dengan tangan terangkat diatas kepala. Menunjukkan sikap hormat.
“ Hahahaha… “


Tak terasa satu jam telah berlalu. Perbincangan itu semakin terasa hangat dan terbuka. Dan saat seperti inilah, saat-saat yang bagi mereka berdua adalah saat-saat paling menentramkan. Menepikan diri dari berbagai persoalan dengan berbagi kepada seseorang. Memang, kadangkala, seseorang akan lebih tenang apabila orang lain turut tidak menyukai apa yang tidak disukainya. Begitupun sebaliknya.
Dalam hal ini, Tina diam-diam menaruh hati kepada Ray. Karena Ray merupakan seseorang yang mengerti dirinya. Tidak sama, saat ia dengan seseorang yang lain. Ia merasa seperti hanya sambilan atau sekedar pelengkap bumbu kehidupan. Yah, mungkin ini adalah efek dari sebab-akibat. Sebab seseorang mengecewakannya. Akibat untuk yang ingin menyenangkannya.
Sebuah siklus yang sering kali tidak disadari telah terjadi.

“ Hay, bengong mulu! “ tiba-tiba lamunan Tina tersentak.
“ Enggak, gag apa-apa kok “
“ Lah, siapa yang tanya kenapa? “ goda Ray setengah tersenyum, “ wah, pasti ada apa-apa ya? ”
“ Dibilang gag apa-apa “
“ Gag apa-apa kok, mukanya muram begitu? “ Ray pun mencoba untuk mengondisikan situasi dengan sedikit bercanda, “ Galau ya? Galau tuch! Galau neh! “.

Yang ditanya pun hanya diam. Termangu, menatap kendaraan dan kerumunan orang yang terlihat dari jendela di sebelah tempat duduknya. Mereka tampak seperti titik-titik kecil tak berpola. Bagai sebuah rasi bintang yang kerap bersinar dimalam hari. Ia pun menerawang jauh dengan memandangi langit. Terasa luas dan lega jika ia bisa berteriak dan berlarian bebas disana.

 ( Bersambung )